Bimbingan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
A. Pengantar
Dalam perspektif psikologi sosial, perkembangan individu tidak lepas dari pengaruh lingkungan fisik, psikhis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan, dan hal tersebut dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) masyarakat). Apabila perubahan yang terjadi sulit diprediksi atau berada di luar jangkauan individu, maka dinamika ini akan melahirkan fenomena kesenjangan perkembangan individu, seperti terjadinya stagnasi perkembangan, masalah pribadi atau penyimpangan perilaku.
Kompleksitas potensi permasalahan yang dihadapi oleh individu dewasa ini, menjadi rasional empirik-konseptual yang mengantarkan perlunya reposisi dan rekonseptualisasi layanan bimbingan dan konseling. Inovasi di dunia bimbingan dan konseling, terkait tentang perlunya reposisi dan rekonseptualisasi layanan bimbingan dan konseling ini, adalah model bimbingan komprehensif atau dalam referensi lainnya disebut juga model bimbingan perkembangan.
Kata-kata kunci: Bimbingan dan Konseling, Anak Berkebutuhan Khusus,
Sekolah Inklusi, Perkembangan Optimal.
B. Pembahasan
Pendekatan komprehensif pelayanan bimbingan dan konseling memberikan kerangka acuan pelayanan bimbingan dan konseling harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut:
Pertama, layanan bimbingan dan konseling didesain secara utuh dengan memandang konseli sebagai sosok individu yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikolgis, sosial, dan spiritual). Konsep ini sejalan dengan visi Departemen Pendidikan Nasional dalam memandang sosok peserta didik yang hendak dicapai melalui ikhtiar pendidikan, yaitu “menjadikan insan indonesia yang cerdas dan kompetitif” atau dengan kata lain “menjadi insan kamil atau paripurna” (Depdiknas, 2005: 8).
Kedua, ditinjau dari manajemen implementasi layanan, bahwa pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif, bercirikan integratif dengan program sekolah, berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait, memperluas peran konselor, ke dalam konsep “3K” yakni: konselor, konsultan, dan koordinator. Hal ini mengandung makna bahwa keberadaan program bimbingan dan konseling dan sosok konselor sekolah, tidak tampil sebagai sosok yang “eksklusif”, akan tetapi hadir sebagai komponen yang terintegratif dengan komponen persekolahan lainnya. Namun demikian inklusivisme layanan bimbingan dan konseling dan kinerja konselor, tetap memiliki ekspektasi dan konteks tugas yang unik dan profesional.
Ketiga, dari orientasi layanan bahwa pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif mengakses semua peserta didik. Hal ini merubah paradigma bimbingan dan konseling tradisional, dimana layanan bimbingan dan konseling diidentikan menanganai peserta didik yang bermasalah saja.
Memperhatikan esensi yang terkandung dalam pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif sebagaimana dijelaskan di atas, maka dalam perspektif inovasi pendidikan, pendekatan komprehensif ini dapat dimakna sebagai sebuah inovasi dalam dunia bimbingan dan konseling. Tentang hal ini, Fullan & Stiegelbauer (1991: 32) mengemukakan bahwa setiap inovasi seharunya terdiri dari tiga elemen intrinsik, sebagai berikut:
1. Bentuk (form), bentuk fisik yang dapat diamati secara langsung dan substansi yang terkandung dari sebuah inovasi. Misalnya, bentuk dari pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif dapat dipahami sebagai layanan bimbingan dan konseling yang terintegrasi dengan proses pendidikan di sekolah dengan komponen program yang dirancang secara utuh dan saling berkaitan—layanan dasar bimbingan, layanan responsif, perencanaan individual, dan dukungan sistem.
2. Fungsi (function), kontribusi atau manfaat yang dihasilkan dari inovasi terhadap kehidupan anggota dalam sistem sosial. Misalnya fungsi yang diperoleh dari pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif ini adalah memfasilitasi pencapaian tugas-tugas perkembangan konseli yang memandirikan.
3. Makna (meaning), intensitas manfaat yang diberikan inovasi terhadap pengguna inovasi sehingga dapat dipersepsi sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan individu dalam sistem sosial. Misalnya, bahwa melalui pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif dapat mendorong aksesibilitas semua peserta didik dan pihak-pihak terkait—kepala sekolah, guru, staf administrasi sekolah, orang tua siswa, dan profesi lainnya untuk terlibat dalam proses bimbingan dan konseling.
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus saat ini mengalami perubahan paradigma, dari eksklusif menjadi inklusif. Perubahan ini memberikan warna baru terhadap kebijakan, dimana layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, tidak mesti dilaksanakan di SLB, akan tetapi dapat dilaksanakan di sekolah inklusi. Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994).
Nyatanya upaya pengembangan potensi anak berkebutuhan khusus melalui layanan pendidikan di sekolah inklusi tidak cukup melalui instructional approach. Hal tersebut proses perkembangan anak berkebutuhan khusus untuk menjadi (on becomening), relatif dihadapkan pada hambatan (barrier of development), baik yang bersumber dari dalam diri individu anak berkebutuhan khusus, maupun bersumber dari lingkungan perkembangannya. Kenyataan inilah yang memberikan landasan empirik akan pentingnya layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus.http://www.blogger.com/img/blank.gif
C. Kesimpulan
Berangkat dari beberapa landasan perlunya layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus, di akhir pembahasan dalam makalah ini disajikan sebuah kerangka pemikiran dalam memformulasikan layanan bimbingan dan khttp://www.blogger.com/img/blank.gifonseling bagi anak berkebutuhan khusus—dalam contoh ini kasus pada anak tunanetra—di sekolah inklusi.
KEBUTUHAN BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(Oleh Iim Imandala)
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan sejarah perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) maka dapat dicatat bahwa kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dan keluarganya masih banyak yang terabaikan selama bertahun-tahun hingga saat ini. Sejarah juga mencatat bagaimana tanggapan sebagian besar masyarakat terhadap keberadaan anak-anak tersebut dan keluarganya. Sebagian besar masyarakat masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain. Akibat dari itu maka ABK dan keluarga ada yang dikucilkan oleh masyarakatnya. Ada diantara ABK sendiri yang menarik diri tidak mau berbaur dengan masyarakat karena merasa cemas dan terancam.
Kondisi tersebut tentunya membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh kembang ABK, bahkan terhadap keluarganya (kedua orangtuanya). Thompson dkk. (2004) menyatakan bahwa pandangan atau penilain negative dari lingkungan terhadap ABK dan keluarganya merupakan tantangan terbesar selain kecacatan yang disandang oleh ABK itu sendiri dan dampaknya dapat dirasakan langsung oleh yang bersangkutan beserta keluarganya. Bahkan cara pandang masyarakat yang negative menjadi stigma yang berkepanjangan (Rahardja, 2006). Dampak yang jelas sering ditemui adalah terhadap konsep diri, prestasi belajar, perkembangan fisik, dan perilaku menyimpang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Thompson ….(2004) bahwa pandangan negative dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra diri yang negative dari ABK.
Sehingga persoalan yang dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus menjadi semakin bertumpuk-tumpuk. ABK tidak hanya harus mengatasi hambatan yang muncul dari dirinya sendiri, ia harus menghadapi pula berbagai tantangan atau rintangan yang datangnya dari lingkungan. Di satu sisi, ABK berupaya memenuhi kebutuhannya, sedangkan lingkungan sering tidak dapat memberikan peluang bagi ABK untuk dapat tumbuh serta berkembang sesuai dengan kondisinya itu. Maka tidak sedikit ABK tidak mencapai perkembangan yang optimal.
Semakin bertambahnya permasalahan membuat ABK menjadi kelompok yang rentan “terpinggirkan” dari kehidupan social, poolitik, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Seolah-olah mereka bukan bagian dari anggota masnyarakat dan dianggap tidak membutuhkan hal tersebut. Sejatinya, ABK adalah anggota masyarakat juga, sama-sama makhluk tuhan yang membutuhkan banyak hal sebagaimana manusia lainnya agar mampu mengisi kehidupannya secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Berdasarkan keadaan sebagaimana dipaparkan di atas maka ABK membutuhkan “alat” agar dirinya mampu mengatasi hambatan yang dialaminya dan mampu hidup mandiri sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Alat itu diantaranya adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan diharapakan ABK memperoleh bekal hidup dan mencapai perkembangan yang optimal. Namun, dengan menumpukknya berbagai permasalahan yang dihadapi oleh ABK, tidaklah cukup melalui pendidikan dengan proses belajar mengajar di kelas. ABK juga butuh layanan yang mendukung kepada keberhasilan belajar dan layanan yang memandirikan untuk mencapai perkembangan yang optimal. Layanan itu adalah bimbingan dan konseling.
Kebutuhan layanan bimbingan dan konseling ini ternyata tidak hanya dibutuhkan oleh ABK tapi juga oleh orang tuanya serta hal-hal lain yang diluar jangkauan (out of reach) kemampuan dan kewenangan guru. Menurut Thompson dkk (2004) setiap orang tua ABK itu akan memiliki permasalahan psikologis akibat dari kondisi anaknya. Permasalahan itu berupa cemas, takut, stress, merasa bersalah, over protection, dll. Sehingga orangtua pun membutuhkan layanan konseling.
B. MASALAH
Berdasarkan pemaparan di atas maka jelas ada persoalan-persoalan yang membutuhkan layanan bimbingan dan konseling. Maka permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah kebutuhan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus?
C. BIMBINGAN DAN KONSELING BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
1. Bimbingan dan Konseling Sebagai Layanan
Bimbingan dan konseling sebagai layanan sedikitnya memerlukan 4 pendekatan (pendekatan krisis, remedial, pencegahan, dan perkembangan). Pendekatan perkembangan dipandang pendekatan yang komprehensif sehingga disebut pendekatan komprehensif.
Sebagai layanan yang memiliki pendekatan yang komprehensif maka ada beberapa komponen di dalamnya, yaitu: asumsi dasar dan kebutuhan dasar, teori bimbingan perkembangan, kurikulum dan tujuan bimbingan perkembangan, prinsip-prinsip bimbingan perkembangan, program bimbingan dan konseling, serta kebutuhan acuan yuridis dan model nasional untuk memperoleh standar layanan juga untuk melindungi layanan bimbingan dan konseling sebagai profesi.
Sebagai profesi (konselor) maka dibutuhkan aturan-aturan dan penatalaksanaan layanan agar tidak tumpang tindih dengan profesi lain terutama dengan profesi guru. Untuk itu perlu adanya penataan pendidikan profesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal.
Kebutuhan konselor di sekolah luar biasa (SLB) idealnya adalah ada di setiap SLB. Tapi minimalnya ada satu konselor dalam satu gugus SLB. Keberadaan konselor diharapkan mampu mengatasi permasalahan diluar kemampuan dan kewenangan guru, misalnya melakukan layanan bimbingan dan konseling kepada orang tua ABK.
2. Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus
Pada dasarnya kebutuhan anak berkebutuhan khusus sama dengan anak-anak lain pada umumnya (kebutuhan jasmani dan rohani). Tapi ada hal-hal khusus yang membutuhkan penanganan khusus, biasanya berkaitan dengan kelainan atau kecacatan yang disandangnya. Di dalam prosesnya dapat berupa pendidikan, pembelajaran yang mendidik dan memandirikan, terapi, layanan bimbingan dan konseling, layanan medis, dll.
Penanganan itu tentunya dilakukan oleh profesi yang sesuai dengan bidangnya. Artinya akan banyak ahli yang terlibat dalam rangka memenuhi kebutuhan ABK itu. Sehingga dikenal dengan pendekatan multidisipliner. Para ahli dari berbagai bidang berkolaborasi memberikan layanan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan ABK agar berkembangan secara optimal.
3. Kebutuhan Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Mengenai kebutuhan layanan bimbingan dan konseling ini, Thompson dkk (2004) menuliskan garis besarnya sebagai berikut:
a. Anak harus mengenal dirinya sendiri
b. Menemukan kebutuhan ABK yang spesifik sesuai dengan kelainannya.
Kebutuhan ini muncul menyertai kelainannya.
c. Menemukan konsep diri
d. Memfasilitasi penyeusaian diri terhadap kelainan/kecacatanya
e. Berkoordinasi dengan ahli lain
f. Melakukan konseling terhadap keluarga ABK
g. Membantu perkembangan ABK agar berkembang efektif, memiliki keterampilan
hidup mandiri
h. Membuka peluang kegiatan rekreasi dan mengembangkan hobi
i. Mengembangkan keterampilan personal dan social
j. Besama-sama merancang perencanaan pendidikan formal,
pendidikan tambahan, dan peralatan yang dibutuhkan
D. PENUTUP
Kebutuhan ABK dan keluarganya telah banyak terabaikan selama sekian tahun. Stereotip dan perilaku dari masyarakat harus berubah dalam menghadapi kecacatan. Anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar, menik mati hidup, mampu mandiri, produktif, dan berkembang sesuai potensinya, tentu melalui berbagai layanan, diantaranya melalui layanan bimbingan dan konseling.
Anak-anak berkebutuhan khusus adalah individu yang unik. Mereka juga mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak lainnya dan memiliki kebutuhan dasar yang sama. Ini merupakan tantangan bagi para konselor untuk berkolaborasi memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
Lanjut .......
Posting Komentar
Anda Melangkah dengan pasti, semoga sukses dan bahagia....